-->

Pilih Pasangan. Pilih Cinta Atau Pilih Harta ?

Bila suatu saat ditanya, ketika nanti akan menentukan dan memilih pasangan, atas dasar apa yang akan anda pilih. Menikah atas dasar cinta, atau menikah atas dasar harta ?

Bingung menjawabnya ?

Mayoritas pasti akan memilih jawaban ini : menikah atas dasar keduanya, menikah dengan seseorang atas dasar cinta dan orang tersebut juga mempunyai harta.
Sebab dasar yang seperti ini adalah memang yang paling ideal.
Namun masalahnya adalah, sebuah kondisi ideal selalu sulit ditemui.
Jadi anda harus tetap memilih salah satu di antara keduanya.
Pilih mana ?

Menikah atas dasar cinta ?
Hari geneee...masih menikah hanya berdasar dan atas nama cinta. Memangnya, nanti bisa kenyang kalau hanya “makan cinta”. Wanita kan juga butuh berdandan, perlu pakaian dan sebagainya.
Belum lagi , jika nanti sudah punya anak !
Harus beri uang jajan lah, harus bayar uang sekolah lah , harus bayar ini lah, harus bayar itu lah.....Makan..tuh ..cinta.

( Mungkin itu komentar yang mungkin anda terima jika memilih menikah atas dasar cinta. Entah dari sahabat, saudara atau bahkan dari orang tua anda sendiri )

Menikah atas dasar harta ?
Wah....matre banget ini cewek !
Apa-apa selalu diukur dengan harta. Apa bisa nanti dia bahagia ?
Atau paling-paling dia “main belakang” sesudahnya.
Makanya jangan kaget jika nanti bahtera rumah tangganya pecah di tengah jalan.


( Mungkin, itu komentar yang akan anda dengar dari orang-orang – dengan sedikit mencibir – jika anda memutuskan menikah hanya berdasar harta saja ).

Tambah bingung ?
Jadi harus pilih yang mana ?

Konon ada sebuah fenomena yang sangat menarik tentang masalah ini.
Dikatakan, bila dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya, saat ini mayoritas wanita sudah mengalami pergeseran yang hebat dalam hal menentukan alasan dan dasar saat ia menentukan dan memilih pasangan untuk menikah.
Dari menikah atas dasar cinta menuju ke menikah atas dasar harta semata.


Fenomena ini pada awalnya memang terjadi dan dimulai dari masyarakat barat, yang memang menganut kiblat materialis dan hedonis.
Namun yang cukup mengejutkan, fenomena materialis ini ( menikah hanya tasa dasar harta ) ternyata – tidak hanya merambah – sudah menjadi anutan sebagian besar wanita Indonesia.
Tidak hanya terjadi pada wanita-wanita kota, tapi sudah jauh merambah ke pelosok-pelosok desa.

Bahkan ada sebuah survey kecil, yang hasil surveynya mengemukakan bahwa dari 50 orang wanita, sebanyak 70 % nya menyatakan akan menikah atas dasar harta !

Mengejutan bukan ?

Mungkin ada yang membantahnya sebagai hal yang biasa saja, toh, perkembangan jaman memang “menuntut” hal yang seperti ini.
Namun patut dan perlu disimak juga nasehat dari para pakar penasehat perkawinan.

Menurut mereka, berdasarkan hasil riset dan pengalaman mereka dalam menangani masalah rumah tangga, berkesimpulan, bahwa menikah atas dasar harta semata, sangatlah besar resikonya.
Memang, karena mempunyai kekayaan yang berlimpah, finansial bukanlah bermasalah.
Tetapi mereka menemukan bahwa sebuah ikatan keluarga dengan dasar harta, merupakan sebuah hubungan yang “kering”.

Banyak kasus, ketika hubungan keluarga sudah terbina, yang terjadi adalah suami atau istri yang kesepian, sebab masing-masing hidup di dunianya sendiri dan memang karena tidak ada “chemistry” yang berimbang antara keduanya.
Imbasnya, anak-anak yang terlantar kurang perhatian ( meski bergelimang harta ), perkawinan yang tidak bahagia. Dan ujung-ujungnya bisa ditebak. Perceraian di tengah jalan.

Jadi, harus pilih dasar mana ?
Bukankah dalam kehidupan sehari-hari harus realistis, karena kenyataannya beban dan biaya hidup makin banyak dan makin tinggi. Yang seandainya nekat dipaksakan, sangat besar kemungkinannya juga akan ricuh di kemudian hari karena masalah ekonomi.
Mana bisa menikah atas dasar cinta saja ?

Nah, para pakar memberikan jawabannya, justru dari kalimat pertanyaan anda sendiri.
Harus realistis.

Ketika memilih pasangan untuk menikah hanya melihat isi dompetnya tanpa memperhatikan kualitas dari pasangan, nah, itu berarti memilih pasangan hanya berdasarkan harta semata.

Dan jika disebut “cewek matre”, memang benar adanya.
Namun jika dalam memilih pasangan dengan dilandasi pertimbangan yang matang tentang masa depan, itu berarti realistis.
Artinya ?

Artinya, biarkan “cinta yang berbicara” terlebih dulu.
Lalu sambil jalan, bahas dan bicarakan tentang kondisi masa depan dengan pasangan.
Artinya lagi, anda bisa memilih pasangan ( yang mungkin tidak berlebih dalam harta ) tetapi mempunyai tekat dan komitmen yang kuat untuk mensejahterakan anda dan anak-anak anda.
Kecuali jika pasangan anda memble dan “alay”, tidak menunjukkan tekad dan galagat apapun untuk masa depannya ( dan keluarganya ), terlebih jika memang tipe “pemorot”, maka abaikan saja “atas nama cinta”.

Namun konon pula, sebaik-baik memilih pasangan untuk menikah adalah atas dasar agama.
Setelah itu atas dasar yang lainnya. ( Orang Jawa bilang : bobot, bebet dan bibit ).

Tapi kesemuanya kembali terserah kepada anda. Sebab anda pula yang akan menjalaninya.
Artikel ini hanyalah sebatas sharing semata.
Dan jika anda sudah mantap dalam menentukan dan memilih pasangan untuk mengarungi bahtera rumah tangga, sangat patut menyimak juga yang ini :

You may like these posts