-->

Syawal Itu Bulan Baik Atau Bulan “Bencana” ?

Jika kebanyakan orang – terutama orang Jawa dan beragama Islam pula – ditanya, apakah bulan Syawal itu bulan baik atau tidak ? 

Bisa dipastikan, hampir semuanya akan menjawab jika bulan Syawal adalah bulan yang baik. 
Bulan baik ini tidak berarti bulan-bulan lainnya itu jelek atau buruk, sebab pada dasarnya semua bulan itu adalah baik. 
Namun dari sekumpulan yang baik, biasanya dan tentunya tetap ada yang paling baik dan terbaik. Dan salah satunya, ya bulan Syawal itu tadi. 

Bulan Syawal adalah bulan yang jatuhnya berurutan dengan bulan Ramadhan dan tepat setelah hari Raya Iedul Fitri. Dan hari Raya Iedul Fitri adalah sebuah moment yang langka, dimana apabila umat muslim mampu menjalani ibadah selama bulan puasa dengan baik dan benar sehingga diampuni dan dirahmati oleh Yang Maha Kuasa, serta sudah saling bermaaf-maafan sesama manusia (pada hari Raya Iedul Fitri), maka seorang manusia seakan kembali kepada fitrahnya, menjadi suci kembali layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. 

Dan bulan Syawal ibaratnya sebuah lembaran baru yang putih bersih, dimana manusia akan “menuliskan” segala amal perbuatannya di tahun berikutnya. 
Karena itulah bulan Syawal dikatakan sebagai bulan yang baik,...itu sekurangnya. 
Sebab memang masih ada begitu banyak lagi kebaikan bulan Syawal, yang lebih afdholnya dijelaskan oleh pak Ustad atau Pak Kyai... 
Kalau ndak percaya, tanya saja sama Bang haji.....itu kata Ucup. 

Kembali pada “kebaikan” bulan Syawal. 
Karena bulan Syawal dianggap sebagai bulan yang baik dan karena “kebaikan” dari bulan Syawal itulah, maka kebanyakan masyarakat di Jawa pada umumnya dengan sengaja “mencari dan menjatuhkan hari” pada bulan Syawal ketika punya gawe dan melaksanakan hajat. 
( ...Awas “melaksanakan hajat” disini jangan diartikan sebagai “buang hajat”..lho..) 
Sehingga pada bulan Syawal, kebanyakan masyarakat akan berduyun-duyun dan berbondong-bondong menikahkan putra atau putrinya, mengkhitankan putranya, hingga pindahan rumah sampai gawe dan hajat lainnya. 
Pokoknya pada bulan Syawal pasti akan rame dengan orang yang punya hajat dan punya gawe. 

Hal seperti itu, baik dong.... 
Iya baik....sebab dengan banyaknya orang punya hajat dan melaksanakan gawe berarti semakin sering orang saling bersilaturahmi. Yang biasanya tidak datang dan bertemu, maka kini bisa berkunjung ke sanak famili atau kenalan yang sedang berhajat. 

Itu baik dong.... 
Iya baik...Sebab dengan adanya orang punya hajat, maka sanak kadang atau tetangga kembali saling menyemangatkan dan menggalakkan kembali kegiatan gotong royong untuk melaksanakan hajatan, yang mana selama ini seakan telah terlupakan, 

Dan tentu saja itu berarti baik, ... 
Iya baik...sebab dengan banyaknya orang punya hajat dan punya gawe berarti akan semakin banyak jajanan atau makanan yang diantar dan diberikan dari orang-orang yang punya hajat. 
Hanya saja “kebaikan” bagi kebanyakan orang terkadang dirasa bukan merupakan kebaikan bagi orang lainnya ( atau malah dirasa sebagai “bencana” ). 

Apa pasal ? 
Bisa jadi karena gerusan arus globalisasi, modernisasi, materialisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi. 

Pada jaman dulu, ketika sedang punya hajat, orang terbiasa untuk membagi-bagikan makanan atau sekedar jajanan, yang waktu itu disebut sebagai “uleman”. 
Itu sebagai tanda syukur ( makanya kalau diundang menghadiri hajatan sering dikatakan sebagai syukuran ), tanda undangan , tanda jamuan dan tanda penghormatan. 
Ini adalah hal yang lazim.

Dan sebagai “balasannya”, sebagai wujud nyata semangat gotong royong, kebersamaan dan kekeluargaan, maka para tetangga dan atau sanak saudara akan secara guyub ikut membantu, baik dengan menyumbangkan tenaga – yang waktu itu sering disebut dengan “rewang” ( bukan rewangan lho ) atau ikut meringankan beban dengan memberikan sumbangan secara sukarela, ala kadarnya dan semampunya – yang waktu itu sering disebut sebagai “buwoh”. 

Sumbangan secara sukarela, ala kadar dan semampunya ini bisa berupa barang – waktu itu biasanya berupa kebutuhan pokok, beras atau hasil bumi lainnya - yang kemudian karena dianggap lebih praktis, bisa berupa uang. 
Dan karena “sumbangan” tersebut - sekali lagi – dilakukan secara sukarela, ala kadarnya dan seadanya, maka oleh tuan ruamh yang punya hajat bukan dianggap sebagai “beban” atau “hutang” yang harus dikembalikan pada saat yang menyumbang melaksanakan acara yang serupa. 

Namun ketika dunia berputar dan waktu berjalan, akibat pengaruh dan kencengnya gerusan globalisasi, modernisasi, materialisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi, maka kegiatan “rewang”, “buwoh” dan “nyumbang” sudah di-ekonomisasi dan dikomersialisasi. 
Kearifan lokal yang merupakan cerminan gotong royong, kebersamaan dan kekeluargaan tersebut sudah terkikis, dan kini malah dianggap sebagai “beban” atau “hutang”, yang harus dikembalikan, minimal dengan jumlah yang sama. 
Maka kini sudah menjadi suatu pemandangan yang jamak, ketika acara hajatan selesai maka yang punya hajat menjadi sibuk membuka-buka, menghitung dan mengingat-ingat jumlah “sumbangan “ yang diberikan masing-masing orang. 
Sebab nantinya harus “dikembalikan”. Kesukarelaan telah berubah menjadi sebuah kewajiban ! 

Itu saja masih belum seberapa. 
Sebab saat ini acara-acara hajat seperti ini malah cenderung “dibisniskan”. 
Maksudnya, si punya hajat berusaha memberikan hantaran atau uleman ( makanan atau jajanan ) yang sekecil mungkin nilai nominalnya, dan kalau bisa mendapatkan sumbangan sebanyak-banyaknya sehingga bisa “bathi” alias untung. 
Gokil, ndak....lha wong punya hajat kok berhitung untung rugi. 

Makanya ketika tiba bulan Syawal seperti ini banyak orang yang tiba-tiba pusing kepalanya. Sebab dengan begitu banyaknya “uleman” mereka merasa berkewajiban untuk mengembalikan “menyumbang”. 
Coba bayangkan dan hitung saja saja, berapa jumlah uang ( karena saat ini orang lebih suka “nyumbang” dengan uang ) yang “terpaksa” dikeluarkannya jika dalam 1 mingggunya bisa terdapat 3 hingga 4 undangan atau uleman. Kalau 1 bulan...???? 
Kalau uangnya tinggal ngeruk sih ndak apa-apa. 
Tapi kalau uangnya dari memeras keringat dan membanting tulang dengan hasil tak seberapa...ya itu tadi ...jadi pening kepalanya. 

Jadi bulan Syawal yang mestinya merupakan “bulan yang baik”, bisa menjadi baik bagi beberapa orang, namun bisa menjadi “bulan tidak baik” ( atau malah bulan bencana ) bagi sebagian orang lainnya. 

Salah siapa...??? 
Ya salah sendiri. Masak menyalahkan orang lainnya !? 
Lihat juga : 

You may like these posts