-->

Bisakah Serotonin Menjadi Dewa Penolong Bagi Pelaku Transgender dan Homo ?


Belakangan ini, kata “transgender” menjadi begitu populer. 
Hal ini bisa jadi tidak lepas dari adanya kasus-kasus pembunuhan yang menimpa pada “penderita” transgender, yang rata-rata dilakukan secara brutal, bahkan sampai dimutilasi. 

Para ahli menganalisa, salah satu alasannya adalah bahwa pada masyarakat umum masih memiliki ketidak berterimaan terhadap para pelaku transgender. Sederhananya, para pelaku transgender memang masih dianggap sebagai “mahluk aneh” karena dianggap “menyimpang” dari kaidah dan norma yang dianut masyarakat umum. 

Para ahli juga memberikan analisa bahwa seseorang dapat menjadi pelaku transgender karena beberapa sebab. Mulai dari karena adanya faktor genetika ( susunan kromosom ), kelainan hormon sampai karena ( salah ) pergaulan. 
Ketika seseorang menjadi pelaku transgender, yang berubah ( atau ingin dirubah ) tidak hanya penampilan fisiknya saja, pada gilirannya juga berimbas pada orientasi s3ksu4lnya. 
Sehingga pada akhirnya muncullah perilaku penyimpangan orientasi s3ksu4al, homos3ks dan atau bis3ks. ( Yang sebenarnya ) laki-laki menyukai laki-laki, dan ( yang sebenarnya wanita ) menyukai wanita. 

Ketika penyimpangan orientasi s3ksu4l tersebut tidak berasal dari sebuah trauma ( atau kemauan ) penderita – karena masalah hormon misalnya – menurut para ahli sebenarnya masih ada secercah harapan ( selama penderitanya “mau” ). 

Sebab, terdapat salah satu penelitian tentang adanya salah satu zat yang dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku s3ksu4l. 
Ahli saraf Yi Rao dari Peking University dan National Institute of Biological Science di Beijing yang telah melakukan penelitian pada salah satu zat dalam otak yang dinamakan Serotonin
Rao dan tim melakukan uji pada tikus melalui pengurangan neuron penghasil serotonin atau protein penting penghasil serotonin dalam otak. 

Tak seperti tikus jantan lain, tikus yang kekurangan serotonin tak memiliki hasrat s3ksu4l terhadap tikus betina. Sebaliknya, tikus itu malah tertarik pada tikus jantan serta lebih sering menyanyikan lagu cinta ultrasonik. 
Biasanya, tikus jantan menyanyikan lagu ini untuk menggoda tikus betina agar bisa melakukan s3ks. 

Ketika tim menyuntik zat netralisir pada tikus yang kekurangan serotonin, tikus kembali berhasrat pada tikus betina. Meski begitu, kadar serotonin berlebih justru mengurangi aktivitas s3ksu4l tikus, baik pada jantan maupun betina. 

Serotonin selain diketahui mampu mempengaruhi perilaku s3ksu4l pada tikus juga berpengaruh pada manusia. Senyawa ini biasanya juga mengurangi aktivitas s3ksu4l seseorang. 
Serotonin ternyata juga mempengaruhi keputusan pria untuk ‘menggoda’ wanita atau pria. Keseimbangan Serotonin dalam otak akan mempengaruhi seseorang agar tidak menjadi homos3ks. 
Artinya, serotonin dalam otak harus dijaga dalam kadar tertentu guna memastikan seseorang tetap berlaku layaknya heteros3ksu4l. 
Menyikapi temuan ini, ilmuwan Florida State University Elaine Hull mengklaim, studi ini bisa mempengaruhi perilaku homos3ksu4l atau bis3ksu4l manusia.

Simak juga :