-->

Mengapa Siswa Stress Saat Ujian Nasional ? Itu “Salah” Orangtua

Dalam minggu ini dan beberapa minggu ke depan, pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ) 2014 berjalan.

Untuk itu sebelumnya, perlu kita ucapkan dan doakan agar pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ) 2014 ini dapat berjalan dengan tertib, aman dan lancar. Dan moga-moga pula semua siswa dan anak didik peserta dapat menempuhnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Meski tidak “seheboh” seperti tahun-tahun sebelumnya, saat-saat menjelang pelaksanaan UN jika dicermati selalu saja muncul fenomena yang cukup menarik.


Mengapa dikatakan menarik ?

● Sebab jika dirunut dan dibandingkan dengan beberapa puluh tahun silam, fenomena ini tidak pernah terjadi. ( Kalaupun ada yang menjalaninya, itupun dapat dihitung dengan jari )

● Fenomena yang terjadi pada anak sekolah menjelang pelaksanaan UN sangat mirip dengan fenomena yang terjadi pada politisi ketika tiba pelaksanaan pesta demokrasi 5 tahunan.

Menjelang pelaksanaan UN, anda dapat dengan mudah melihat 3 fenomena ini :
1. Berburu ( atau jual beli ) soal ujian untuk anak sekolah
Untuk politis : berburu ( atau jual beli ) dukungan suara
2. Doa bersama, minta doa guru dan atau orang tua.
Untuk politisi : “sowan” dan minta restu pada “orang tua” atau kiai
3. Stress. Berlaku untuk keduanya.

Pertanyaannya, siapa yang “salah” dalam hal ini ?
Siswa-kah ? Guru ? atau sistem pendidikannya ?

Yang paling mudah, tentu saja mencari siapa yang bisa menjadi kambing hitam diantara ketiganya.
Namun seandainya kita mau berfikiran sedikit positif,

- Tidak ada seorang siswa pun yang ingin gagal ketika melaksanakan ujian ( apapun ujian-nya ).
Secara naluri semua siswa juga ingin memberikan dan menjadi yang terbaik. Dan akan merasa malu ketika gagal.
- Guru, pasti tidak ingin juga jika anak didiknya sampai tinggal kelas. Guru selalu memberikan kemampuan terbaiknya untuk siswa ( meski tentu saja selalu ada sedikit kekurangan ).
- Sedangkan sistem pendidikan pada dasarnya selalu dirancang untuk mencerdaskan bangsa.

Jadi siapa yang “salah” dengan adanya fenomena ini ?

Yang lebih bijak adalah tidak mencoba mecari siapa yang salah. Tapi ada baiknya jika para orang tua malah mengkoreksi diri sendiri.
Mengapa orang tua ?

Jika mau jujur, “tekanan” yang paling besar diterima oleh anak didik ( siswa ) datangnya justru datang dari para orang tua.
Memang, setiap orang tua pasti menginginkan keberhasilan bagi anaknya.
Hanya saja terkadang, tanpa disadari cara yang dilakukan seringkali tidak tepat ( jika tidak mau dikatakan “salah” ).

Karena kekhawatiran yang begitu besar ( jika sampai anaknya gagal ), para orang tua seringkali memberi beban yang begitu besar pada anaknya.
Tekanan terbesar akan terjadi, justru ketika para orang tua bermaksud ingin menyemangati dan memotivasi anaknya ( agar selalu sukses ).

Jika mau teliti, para orang tua sering kali “salah cara” ketika melakukan hal ini.
Sebab bukannya menggunakan kata-kata yang positif tetapi malah menggunakan kata-kata motivasi yang negatif. Sebagai contoh :
- “ Kalau malas belajar nanti tidak lulus”
- “ Kamu harus rajin belajar, saat ini ujian-nya susah sekali”
- Dan sejenisnya. Maksudnya memang baik.

Sedangkan seandainya menggunakan kata-kata motivasi yang positif akan jauh lebih baik.
“ Jika tidak malas beajar, pasti akan lulus” atau “Selama kamu rajin belajar, tidak ada soal ujian yang susah”. Dan sejenisnya.

Mengapa hal ini “salah” ? Toh, maksudnya sama.

Saya teringat contoh yang pernah diberikan oleh Tung Desem Waringin, salah satu motivator sukses Indonesia.

“ Ambil nasi. Satu bagian masukkan ke stoples A. satu bagian ke stoples B.
Nasi pada stopless A setiap hari, “kata-katai” dengan yang negatif. “Kamu jelek”, “kamu tidak enak” dan sebagainya.
Nasi pada stopless B setiap hari, “kata-katai” dengan yang positif. “Kamu enak”, “kamu dibutuhkan”, “kamu bersih” dan sejenisnya.
Lakukan kurang lebih satu minggu.
Maka setelah itu akan didapati, nasi pada stopless A akan hitam, berlendir, berbau busuk.
Sedang nasi pada stopless B, nasi akan tetap awet, meski sedikit berjamur, nasi tetap putih dan tidak berbau”.

Jika pada nasi yang tidak berjantung dan berjiwa saja bisa merasakan "tekanan" dari kata-kata yang negatif. Maka coba bayangkan jika hal ini terjadi pada anak-anak kita, yang masih begitu polos dan peka.
Betapa besarnya tekanan yang ia terima.

Jadi, tidak maukah jika dari saat ini kita mulai merubahnya ?

Artikel lain yang menarik, juga tentang anak :
Mengapa anak perlu uang saku ? Ini alasannya